Memang Tak Pernah Jualan Mangga

Sebatang pohon mangga yang tumbuh di depan rumah ini, nampaknya akhir-akhir menarik perhatian sejumlah orang. Lebih dari biasanya. Sudah beberapa kali orang silih berganti mampir, dan berucap ingin membeli buahnya. Buah mangga. Berkali-kali pula dijawab bahwa buah mangga itu bukan untuk dijual, tak pernah dijual, dan takkan pernah dijual.

Namun, kami sudah niatkan, bahwa siapapun yang ingin, silakan petik. Secukupnya untuk dinikmati, sendiri atau bersama keluarga. Petik secukupnya, ingat, mungkin masih ada orang lain yang juga inginkan yang sama. Hanya perlu kesadaran untuk tidak hanya memikirkan diri sendiri.

Beberapa hari lalu, datanglah dua orang anak muda. Berteriak di depan rumah. Setelah ditanya, ia menjawab bahwa ia ingin membeli mangga tersebut. Katanya, untuk dijual lagi. Ia tetap mencoba untuk membeli, sekalipun sudah disampaikan bahwa tidak akan dijual. Pada akhirnya, ia mengatakan ingin ngerujak, buat dimakan saja. Sambil meminta ijin untuk memetik sejumlah yang nampak sangat berlebihan kalau hanya untuk bikin rujak.

Perubahan yang begitu cepat. “Baiklah, silakan kau petik lima buah untuk dimakan. Ingat orang lain, mungkin ada pula yang mau!” begitu saya ucapkan sembali menutup pintu. Membiarkan ia memetik, entah berapa jumlahnya. Terserah pada kejujurannya saja.

Kali lain, ada juga yang datang dengan niat yang sama dan tetap mendapatkan jawaban yang sama. Namun ia coba melobi dengan halus. Cobalah buat dia saja diijinkan membeli. Usaha yang keren. Cuma juga dijawab dengan lembut, “Maaf, aku harus adil dan sama kepada semua orang yang mau beli, bahwa memang tak pernah kami jual. Kalau cuma buat dimakan sendiri atau sama keluarga, silakan petik secukupnya.”

Siang ini, baru saja. Ada pula orang lain. Kali ini nampak lebih tua dari yang sudah-sudah. Setelah dijumpai niatnya sama, ingin membeli. Jawaban juga tetap sama, tidak untuk dijual, tapi silakan petik secukupnya kalau buat dinikmati. “Aku minta lima belas!” demikian ucapnya. Karena kaget, kujawab, “Silakan petik lima!”.

Mungkin karena tak puas atau apa, ia menjawab lagi, dan kurasa kasar, “Lima belas jar ku!” dengan suaranya yang agak tinggi. Spontan saja langsung kujawab dengan pendek, “Kubilang lima!” dan nampak sekali ia kaget. Kemudian kuteruskan, kali ini tetap dengan agak tinggi, “Ingat orang lain! Siapa tau ada yang mau juga! Jangan cuma mikir buatmu sendiri!”

Begitu mengucapkan itu, langsung saja pintu ditutup. Membiarkan ia mau lanjut memetik atau tidak. Tapi kali ini lain dari biasanya. Yakni sampai memperhatikan dari balik jendela. Ternyata, ia tetap memetik. Sembari menggerutu entah apa. Kurang jelas. Biarkan saja, toh dimulutnya sendiri. Pada sisi lain, ini sudah siang, perut sudah mulai terasa lapar. Belum pula sarapan dari pagi. Sudah saatnya makan. Mariiii…

Tinggalkan Komentar

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gulir Ke Atas