Judul tersebut memang mengutip salah satu syair lagu milik Padi yang berjudul Begitu Indah. Namun ini memang tidak bicara soal lirik lagu, judul lagu ataupun siapa yang membawakannya. saya justru bicara tentang kehilangan. Yakni kehilangan keindahan. Bicara tentang pepohonan dan suasana yang dulu menyergap saat berada diantaranya.
Dulu… rumah ini mungkin menjadi ujung Kota Banjarbaru, karena di sekitar sini yang ada hanya hutan pinus dan tanaman-tanaman lain. Tapi tidak saat ini. Kini, sudah sangat sulit mencari pohon dan buah karamunting yang dulu banyak terdapat di sekitar pemukiman kami. Kini, sudah tidak ada lagi anak-anak pohon pinus yang akarnya meliuk-liuk indah, untuk dijadikan tongkat dan batangnya yang sangat bagus dijadikan alat permainan patuk lele layaknya masa kecilku.
Dulu… saat kami masih menjadi anak-anak yang riang, sekelompok anak kecil di perumahan ini kadang berkumpul bersama, laki-laki atau perempuan, bermain bersama di hutan pinus itu. Saat anak-anak perempuan bermain masak-masakan, kami yang anak laki-laki memainkan permainan lain. Setelah itu semuanya makan bersama-sama dan sangat seadanya, namun riang gembira.
Dulu… di Hutan Pinus itu ada kebun binatang mini. Karena memang jumlah binatang yang di tampilkan tidak banyak. Lagi pula, mungkin memang tidak ditujukan untuk menjadi kebun binatang selayaknya kebun binatang lain. Tapi di sana ada beragam jenis monyet, ular bahkan ada pula beruang. Saya ingat betul, saat saya bermain, ada seorang laki-laki yang betisnya sobek di cakar beruang gara-gara hal konyol.
Ia pipis sembarangan menghadapi kandang seekor monyet. Bisa jadi sang monyet itu tersinggung, lantas ia berontak di kandangnya dan meloncat ke arah si pria itu. Mungkin karena kaget dan tidak sadar kalau monyet itu di dalam kandang, pria itu sontak mundur ke belakang, tanpa sadar lagi, bahwa di belakangnya adalah kandang seekor beruang. Alhasil, luka dibetis menjadi kado istimewa.
Dulu… berbekal tikar purun, walkman, dan buku, saya kerap merebahkan diri, sendirian, di hutan pinus itu. Untuk membaca buku sambil santai sendiri. Bahkan tak jarang saya tertidur pulas, tetap sendirian. Nyamuk? oh tidak terasa mengganggu, terkalahkan oleh sejuknya suasana hutan pinus dengan suara kumbangnya yang khas itu. Indah. Saya sudah rebah di atas rumput yang menghijau tumbuh diatara pohon pinus yang dihiasai oleh daun dan buah pinus yang telah jatuh mengering.
Dulu… kami kerap mencari akar-akar pinus yang paling indah liukannya untuk dijadikan tongkat. Rasanya gagah saja menggunakan tongkat yang akarnya meliuk-liuk itu. Untuk mencabut anak pinus yang tumbuh rapat itu, memang memerlukan teknik tersendiri. Kami mencabutnya dengan cara membelakangi batangnya, bukan menghadapinya. Karena akarnya tertanam kuat. Sebagian batangnya, kami jadikan alat permainan, patuk lele kami menyebutnya. saya tidak tau, apakah ada istilah resmi yang menggunakan bahasa persatuan negeri ini untuk nama permainan ini.
Dulu… di hutan pinus ini terdapat sebuah tandon air yang terbuat dari semen dengan ditopang kaki-kaki yang kokoh terbuat dari kayu ulin. Untuk dapat mencapainya, tandon itu dilengkapi dengan sebuah tangga. Kami kerap bermain, tepatnya berenang di dalam tandon yang memang sudah tak terpakai itu. Kami berenang di tandon yang terletak sekitar 10 meter di atas permukaan tanah. Tak peduli kalau airnya tak pernah diganti, tetap berenang dan gembira. Toh kadang kala datang hujan yang menggantikannya.
Dulu… kami kadang berkemah di sisi lain hutan pinus, yang banyak ditumbuhi pohon-pohon kecil lainnya. Lengkap dengan panci dan peralatan untuk makan seadanya. Kami yang masih anak kecil itu berkemah pada malam minggu, yang besoknya libur sekolah. Ada seorang kawan yang rasa takutnya bisa menimbulkan kekuatan larinya, kami ikat kakinya dengan tali ke tiang tenda. Begitu lampu minyak kami matikan, dan kami takuti, maka ia yang sebenarnya tengah tertidur pulas, sontak bangun dan berlari, namun karena kakinya terikat, maka ia jatuh seiring dengan tenda yang ikut rubuh. Tenda rubuh tak jadi soal, tapi kami gembira telah berkemah di hutan pinus di dekat rumah.
Dulu… saat mulai pembangunan irigasi yang gagal itu, banyak sekali pohon pinus yang harus di tebang. Entah kemana perginya batang-batang pinus itu. Namun, setelah irigasi itu selesai dibangun, saya juga kerap menggunakannya untuk tempat menyendiri. Duduk di tepian irigasi sambil membawa gitar, bernyanyi sendirian di sore hari. Atau hanya duduk tanpa melakukan apapun, sekedar membiarkan pikiran lari kesana kemari.
Kini… semua itu menguap entah kemana. Kalau apa yang saya ceritakan ini dibandingkan dengan suasana yang ada saat ini, lantas saya ditanya, apakah yang saya rasakan, maka saya hanya bisa menjawab: terang saja aku merindunya…
*Catatan: Tulisan ini dipulihkan dari blog lama (pakacil.net) yang sekarang sudah tidak aktif lagi.