Judulnya sudah jelas, stand-up comedian -yang kalau sekarang di Indonesia dikenal dengan istilah Komika-, yakni komika favorit. Berbekal gambar di atas juga sudah bisa ditebak, rasa-rasanya bukan wajah umum orang Indonesia. Apakah benar-benar sama sekali tidak memfavoritkan komika lokal? Nanti dulu, jangan berkesimpulan di awal. Kisahnya panjang, tapi catatan ini pendek saja.
Pertama kali mengenal genre komedi stand-up ada dulu pada awal tahun 90-an. Tapi tidak banyak tahu siapa saja pelakunya. Maklum, sumber informasi waktu itu tidak seperti sekarang. Internet? Koneksi internet dial-up 080989999 saja belum ada waktu itu. Tahu ‘kan itu nomor apa? Kalau tidak tahu ya sudah. Yang penting adalah sumber info yang sangat terbatas.
Perkenalan Pertama
Salah satu sumber informasi utama saat itu memang televisi. Maka dari televisilah mengetahui adanya genre komedi itu. Dari situ pula mengetahui Billy Crystal yang kalau menjadi host acara Oscar sangat lucu. Jadi suka melihat acara seperti penghargaan Oscar itu jika pembawa acaranya Billy Crystal. Lain dari dia, entah kenapa kurang suka.
Billy Crystal adalah seorang Yahudi, ia berteman baik dengan Muhammad Ali, sang legenda tinju. Ali menyebut Crystal sebagai little brother. Penampilan Billy Crystal yang berjudul 15 Rounds dibuat khusus sebagai penghargaannya kepada Ali. Oleh sebab itu, ketika Muhammad Ali meninggal dunia, Crystal menjadi salah seorang yang memberikan eulogi.
Apakah selalu mengikuti perjalanan seorang Billy Crystal? Tentu saja tidak. Saat ia memulai karier, akunya masih anak-anak. Tapi Billy Crystal menjadi semacam penanda awal mengenal genre komedi stand-up. Sebab itulah selalu ingat pada komedian yang satu ini.
The GOAT
Lalu ada Dave Chappele, seorang komika muslim di Amerika. Pernah membuat gempar karena memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kontrak senilai 50 juta dolar begitu saja. Ia menghilang selama beberapa tahun. Pernah pula mengajak orang untuk memboikot dirinya sendiri untuk melawan beberapa media. Dan perjuangannya itu berhasil, dan bisa jadi akan membawa perubahan pada persoalan lisensi atas publikasi karya di berbagai platform.
Mendengarkan Chappele saat ini mungkin mungkin agak berbeda dengan masa mudanya. Itu adalah hal yang biasa. Jika kadang ia kini cukup filosofis, bisa jadi karena latar belakang didikan orang tuanya, serta hasil perenungan ketika ia memutuskan untuk ‘menyepi’ sampai-sampai sengaja digosipkan oleh beberapa pihak bahwa ia sedang mengalami gangguan mental.
Atas apa yang dilakukannya, Chappele menjadi salah seorang komika yang dihormati oleh banyak komika lain saat ini di US. Banyak pula yang menyebutkan bahwa Chappele adalah ‘The GOAT’. Chappele menerima penghargaan Mark Twain pada 2019 lalu. Terima kasih terbesar diberikannya kepada sang ibu.
The Fluffy Guy
Kemudian ada Gabriel Iglesias, yang juga dikenal sebagai Fluffy. Komika Amerika berdarah Meksiko. Nama Fluffy diambil dari istilah yang digunakan oleh Iglesias dari enam (sebelumnya lima) tingkat kegemukan, yakni: big, healthy, husky, fluffy, damn! dan yang terakhir adalah Oh, hell, no! Tingkat kegemukan merupakan teori karya Iglesias sendiri.
Fluffy adalah seorang pencerita yang bagus dan tentu saja lucu. Lebih dari itu, setiap kali ia bercerita, selalu saja ditingkahi dengan efek suara pendukung. Suara mobil, suara pintu, suara perempuan, dan lain-lain. Termasuk dengan aksen. Banyak juga komika lain yang menirukan aksen, tapi efek suara oleh Fluffy itu keren, walau tidak sebagaimana Michael Winslow. Terkini, Gabriel Iglesias membuat klip-klip dari penampilannya menjadi format kartun. Dibuat serial bernama Fluffy Bits. Ini benar-benar ide yang kreatif.
Gabriel Iglesias sering bercerita bahwa hanya tahu bahwa ayahnya seorang anggota Band Mariachi, tidak lebih dari itu. Maka tidak heran jika mendengar banyak cerita dalam penampilannya, ia begitu hormat dan sayang pada satu sosok, ibunya.
Born a Crime
Ada pula Trevor Noah. Komika yang berasal dari Afrika Selatan, dan kini di Amerika. Bahkan menjadi host salah satu acara populer, yakni The Daily Show. Acara yang salah satu korespondennya adalah Ronny Chieng, komika asal Malaysia. Salah satu segmen paling menarik dalam acara itu justru segmen tanpa script, yakni Between the Scene.
Trevor Noah lahir dan tumbuh saat sistem apartheid yang masih berjalan di Afrika Selatan. Latar belakang itu membuatnya sangat solid jika bicara tentang rasisme, kolonialisme, dan sejenisnya. Trevor pencerita yang sangat baik. Juga sangat sering menyentuh isu-isu politik. Sangat lucu ketika ia menirukan Jacob Zuma, mantan presiden Afrika Selatan.
Memiliki kemampuan berbicara dalam beberapa bahasa, Trevor lahir dari ibu yang berasal dari salah satu suku asli Afrika Selatan, dan ayahnya berasal dari Swiss. Ia campuran, yang pada saat apartheid itu adalah sebuah kejahatan. Karenanya ia menyebut dirinya terlahir sebagai kejahatan. Born a crime, sebagaimana judul bukunya. Dapat dikatakan, sosok pahlawan baginya adalah: Ibu.
Itulah beberapa orang stand-up comedian atau komika favorit sampai dengan saat ini. Memang banyak yang populer bahkan sampai populer juga sebagai bintang film, tapi bukan soal itu. Sebatas lucu atau popularitas tidak menjadi parameter yang cukup bagiku untuk menyukai seorang komedian. Bahkan suatu saat bisa saja berubah dari suka menjadi tidak.
Lalu bagaimana dengan komika lokal? Maksud lokal di sini bisa jadi dari Indonesia atau bahkan skala provinsi. Sampai saat ini memang masih dalam tahap mengamati dan menikmati. Lagi pula genre ini masih relatif baru di Indonesia. Memang ada beberapa nama yang menarik perhatian. Lihat saja nanti bagaimana perkembangannya.