Dalam waktu kurang dari sepekan, sudah membaca beberapa berita yang membuat dahi berkerut dan nalar terusik. Berita tentang Banjarbaru juga dan bukan berita menyeramkan, namun sangat potensial mengacaukan jika dibiarkan.
Berita pertama adalah tentang nasib tenaga honorer, berita kedua tentang kekosongan posisi Kepala Disporabudpar Banjarbaru. Apa yang potensial bikin kacau? Tentu saja bukan soal tenaga honorernya dan kosongnya kepala dinas itu. Tapi soal lain yang bagi sebagian orang mungkin dinilai sepele. Prinsip bagi sebagian yang lain.
Sudah menemukan kesamaan dalam kedua berita tersebut?
Jika belum, maka setidaknya berikut adalah kesamaan yang terdapat dalam keduanya: Kedua hal tersebut terlampau teknis, dan disampaikan kepada publik oleh orang yang sama. Yakni oleh seorang anggota TAP2D Kota Banjarbaru, bernama Wahyudin atau Ujud.
TAP2D adalah akronim dari Tenaga Ahli Percepatan Pembangunan Daerah, yang dibentuk dalam rangka melakukan pendampingan dan pertimbangan percepatan pembangunan daerah sesuai dengan visi, misi dan program Wali Kota yang ditetapkan dalam rencana pembangunan daerah1.
Kita tidak mempermasalahkan itu, silakan saja Wali kota menggunakan hak dan kewenangannya sesuai keinginan untuk membuat atau tidak membuat sesuatu. Perlu atau tidak perlu, urgen atau tidak urgen, dan lain sebagainya. Aku juga tidak ambil pusing ketika beredar isu bahwa TAP2D meminta anggaran hingga delapan ratus juta rupiah.
Namun jika seseorang terbiasa berpikir sistem, mencoba hormat dan tertib sistem, bisa jadi yang membaca berita itu akan merasa aneh. Mengapa TAP2D yang notabene bukan merupakan lembaga organik pemko, yang menyampaikan kepada publik.
Bukankah Banjarbaru memiliki Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM)? Terakhir dicek, BKPSDM masih ada dan belum dibubarkan. Seyogyanya BKPSDM yang tampil dan memberikan keterangan atau penjelasan. Itu sangat sesuai dengan urusannya.
Lantas, apakah TAP2D memang juga memiliki tugas untuk memberikan keterangan kepada publik? Untuk ini, silakan baca tugas dan fungsi TAP2D2. Hal yang paling ‘karet’ di sana adalah “melaksanakan tugas lainnya yang diberikan Wali Kota”. Jika ternyata pemberian keterangan tersebut karena ditugaskan oleh Wali Kota, maka dapat diartikan bahwa Wali Kota Banjarbaru memiliki problem etis dalam mengelola birokrasi pemko.
Jika kemudian itu dilakukan dengan dasar inisiatif sendiri, maka hampir dapat dipastikan yang bersangkutan memiliki problem etis. Jangan kaget kalau ada yang berpikiran bahwa sedang melihat gejala post power syndrome. Maklum, yang bersangkutan adalah mantan Kepala BKD di Banjarbaru.
Jika pun berdalih akibat ditodong oleh wartawan maka terpaksa menjawab, itu juga tidak bisa dijadikan alasan. Seseorang yang berpegang pada etika yang baik tidak akan mengambil porsi yang bukan miliknya. Seyogyanya dilimpahkan dan arahkan saja ke instansi teknis terkait. Itu jelas lebih elegan dan etis.
Atau, jangan-jangan ini sebuah pesan tersembunyi bahwa Kepala BKPSDM Banjarbaru tidak mendapat kepercayaan dari pimpinan. Mungkin saja ini perilaku yang politis. Namun sebuah langkah politis yang tidak berkelas dan sangat murahan.
Namun apa pun penyebabnya, aku meyakini seyogyanya tetap BKPSDM Banjarbaru yang memberikan penjelasan, atau Asisten yang terkait dengan urusan kepegawaian, atau naik lagi ke tingkat sekretaris daerah.
Bahkan kemarin kepada sejumlah orang telah kusampaikan, “Percayalah, ini adalah tanda-tanda awal kekacauan di lingkungan Pemko Banjarbaru. Jika hal seperti ini terus dibiarkan terjadi, akan terjadi keriuhan dan kekacauan di lingkungan birokrasi pemko. Meski itu terjadi secara terselubung.”
Atau, jangan-jangan apa yang terjadi ini secara tidak langsung merupakan jawaban atas sebuah tantangan yang pernah disampaikan beberapa waktu lalu. Jika iya, duh… terpaksa sekali kita jangan berharap banyak kepada Pemko Banjarbaru selama periode ini.
Akhirnya, dalam hal ini TAP2D Banjarbaru secara nyata telah memberikan gambaran peniadaan peran BKPSDM sekaligus mengindikasikan adanya problem etis. Jika dibiarkan, maka hal macam ini jelas kontraproduktif dan tidak selaras dengan usaha menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Jika memang ingin baik.
Untuk menghindari kekacauan, tidak ada cara lain, wali kota harus mampu mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Logikanya sangat sederhana, jika tidak mampu mengendalikan satu orang saja kesulitan, bagaimana mungkin bisa mengendalikan banyak orang dengan baik?


Tinggalkan sebuah Komentar