Mereka Mendidik Anak dengan Motornya

Sewaktu masih menjalankan sebuah program di sebuah jaringan radio di Kalimantan Selatan, ada sebuah tema yang pernah kuangkat, yakni “kecil-kecil bawa hape”. Acara itu sendiri menyasar para orang tua yang melingkupi wilayah Kalimantan Selatan dan sebagian Kalimantan Tengah. Krang-kring telepon bergiliran masuk, untuk sekedar menyampaikan pendapat pendegar dalam kemasan acara macam ngobrol di pos kamling itu.

Hasilnya adalah, 100% argumen yang masuk sama, kenapa anak-anak kecil itu sudah bawa hape, yakni supaya mudah dicari. Zaman terus berkembang, dan kini anak kecil sudah tak sekedar bawa hape lagi. Sekarang sudah jauh meningkat menjadi: mengendarai sepeda motor! Tentu saja persoalan anak kecil dan motor ini akan lebih dahsyat dari pada sekedar anak kecil bawa hape.

Ini bukan bicara tentang ragam aturan legal formal mengenai hal terkait. Tapi coba melihat dari sisi lainnya.

Kawan, saat ini ragam merek sepeda motor sudah dapat diperoleh dengan jauh lebih mudah dari pada beberapa tahun yang lalu. Bekerja sama dengan ragam usaha kredit, hanya dengan beberapa ratus ribu rupiah sudah bisa membawa sebuah motor baru pulang ke rumah.

Anak kecil, ya anak kecil, saat ini sudah banyak yang bisa menuntut pada orang tuanya untuk minta dibelikan sebuah motor baru. Tidak hanya itu, sudah banyak anak kecil yang bisa menyebutkan dengan fasih merek motor apa yang ia inginkan.

Apakah ini pertanda meningkatnya kecerdasan anak-anak kecil itu? atau Pertanda keberhasilan komunikasi bisnis pabrikan dengan berbagai iklannya?

Ah, sudah payah rasanya kalau bicara melihat kelakuan mereka di jalan-jalan, terutama di Banjarbaru ini. Bersenda gurau dengan kawan, goda-menggoda pengendara lain yang mungkin siapa tau bisa ngasih nomor telepon, dan lain sebagainya. Tidak sekali dua aku pernah ngomel dan teriak, “Hei… orang lain juga mau lewat !!! ini bukan jalanmu sendiri !!!” Teriakan ini keluar jika sudah diberi pertanda dengan klakson sudah tak mempan.

Saban sore hari, begitu banyak anak-anak kecil yang memang kecil yang naik motor dan segera panik kalau hanya sekedar melihat polisi lewat. Cobalah lihat di Kota Banjarbaru ini, itu terjadi di ruas jalan Panglima Batur, yang pada ujung jalannya terpampang tulisan “Anda memasuki kawasan Tertib Lalu Lintas”.

Memang sempat terpikir, kenapa aparat sangat jarang melakukan penertiban di kawasan ini, padahal sudah jelas di depan mata, kalau saja dilakukan penertiban, pasti banyak yang bakal terjaring. Apakah karena aparat yang berwenang itu mendukung perubahan wilayah ini menjadi wilayah gaul?

Bahkan, pada tingkat yang paling parah, pernah mengkhayal, bahwa jangan-jangan ada konspirasi antara aparat berwenang dengan berbagai pabrikan dan dealer kendaraan bermotor, untuk tidak terlalu aktif melakukan razia terhadap anak-anak yang bawa motor itu. Bayangkan saja, bagaimana efeknya jika aparat terus melakukan penertiban dan secara ketat melarang anak kecil naik motor, berapa kerugian akibat penurunan tingkat penjualan?

Ah, tentu saja pikiran dan khayalan berlebihan model teori konspirasi itu segera kuhentikan, dan diganti dengan pikiran positif saja. Bahwa aparat memang telah berusaha untuk melakukan penertiban, tapi masalah korupsi dan pengrusakan lingkungan itu lebih penting dan mendesak untuk diatasi, sehingga aparat lebih berkosentrasi pada hal-hal itu.

Lagi pula, persoalan bukan terletak pada aparat. Aparat tidak bisa menanggung ini sendiri. Ini persoalan kesadaran pada skala keluarga. Bagaimana memberikan pendidikan pada generasi penerus keluarga. Tentu saja ini bukanlah balas dendam pada anak-anak masa kini, karena dulu kami bersaudara tak diperkenankan untuk bawa kendaraan bermotor sebelum waktunya.

Pendidikan macam apa yang ingin diberikan pada anak-anak kecil itu? Kemandirian dan tidak perlu merepotkan orang lain kalau mau kemana-mana? Keterampilan teknis berkendaraan? Agar dapat membantu dan mengantarkan orang tua, atau pendidikan apa? ;

Sementara pada sisi lain, hanya melihat polisi lewat, mereka mudah panik, sembarangan di jalanan, cenderung tanpa perhitungan kalau di jalan, timbul persaingan dan gengsi antar sesama teman sepermainan, dll.

Karenanya, adik-adikku …

Aku berusaha untuk yakin bahwa orang tuamu yang memberikan kesempatan padamu secara bebas untuk menggunakan motor sebelum waktunya itu pada dasarnya bermaksud untuk mendidikmu, sekalipun itu dapat merugikan dirimu dan orang lain. Karena saking sayangnya dengan dirimu. Karena sayang itu memang terkadang membutakan.

Lagi pula, saat ini pemerintah dan kita sendiri sudah begitu sulit memikirkan transportasi publik yang murah dan nyaman. Masih banyak persoalan yang harus dipikirkan, dan entah apa itu.

* Catatan
Tulisan ini dipulihkan dari blog lama pakacil.net yang sekarang sudah tidak aktif lagi.

Salam. Bahagialah selalu...

Mhd Wahyu NZ © mwahyunz.id

Tinggalkan Komentar

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gulir ke Atas