Ramadhan dan Keributan yang Dirindukan

Ramadhan 1437 Hijriyah yang bertepatan dengan 2016 Masehi kali ini, mungkin seperti tahun kemarin, terasa panas suhu udara. Terik matahari juga. Tapi, tetap puasa bukan? Tentu saja ini bagi yang menunaikannya. Terlebih lagi Ramadhan memang momen istimewa. Setahun hanya ada 29-30 hari.

Ramadhan, juga selalu saja membangkitkan banyak kenangan. Terutama momen-momen Ramadhan saat masa kecil dulu, yang terasa begitu menyenangkan. Bersama keluarga dan bersama kawan-kawan. Semua senang. Jika ada bulan yang sanggup memancarkan kebahagiaan sepanjang hari sebulan penuh, maka sudah pasti itu bulan Ramadhan. Kinipun, mengenang banyak momen yang pernah dilalui itu, tetap saja menyenangkan.

Bagaimana sewaktu kecil dulu saat awal belajar puasa. Mulai dari puasa ½ (setengah) hari, atau dulu kami sebut sebagai “puasa iang-iang”. Yakni anak kecil yang diajari untuk menunaikan puasa, namun cukup sampai setengah hari. Siangnya boleh makan minum, kemudian dilanjutkan lagi sampai dengan waktu berbuka tiba. Jika sudah dirasa kuat, maka akan belajar untuk ikut puasa sehari penuh, sebagaimana orang-orang yang sudah dewasa, atau jatuh hukum atasnya.

Bagaimana dulu, sewaktu ikut belajar menunaikan puasa, justru sampingannya adalah sering ke kamar mandi. Ya memang tidak ada tujuan lain. Selain dari pada mengguyur kepala. Basah sebasahnya. Alasannya karena panas. Meningkat dikit, jadilah berenang di kamar mandi. Sambil berharap tertelan air atau minum secara tidak sengaja. Lumayan.

Beranjak remaja, semakin banyak hal yang bisa dilakukan saat bulan Ramadhan. Main petasan? Oh, sudah barang tentu. Itu adalah salah satu yang semacam menjadi acara rutin. Salah lainnya adalah membangunkan warga untuk santap sahur. Beragam cara pernah dilakukan. Keliling komplek sambil teriak, “Sahuuuur…. sahuuur!”.

Atau kemudian, menyalakan sound system di langgar, dan kemudian cukup lewat pengeras suara saja untuk membangunkan warga. Kerja urat leher jadi berkurang.

Hanya saja, untuk hal yang satu itu pernah terjadi insiden. Pada suatu dini hari, bersama dengan seorang kawan, kami susun itu gelas-gelas di langgar. Gelas invetaris langgar yang biasanya memang digunakan untuk beragam keperluan. Kalau bulan puasa, ya terpakai buat buka puasa bersama.

Gelas-gelas itu kami isi air dengan volume yang masing-masing berbeda. Kami susun sedemikian rupa pada tempat dimana biasanya Imam Langgar berada. Bukan apa-apa, karena disitulah lokasi paling dekat dengan microphone. Mic langgar yang kami gunakan untuk memancarluaskan siaran sahur.

Bibir gelas-gelas itu dipukul dengan menggunakan sendok, dan menghasilkan nada yang berbeda satu dengan lainnya. Ya… kami mainkan secara acak sambil tetap melantunkan lirik wajib, “Sauuuuur…. saur!” Begitu menyenangkan dan membuat bersemangat. Saking bersemangat, pukulan menjadi tidak terkontrol, dan prangggg..! Gelas pecah, dan jadi basah. Tidak ada cara lain, bergegaslah membereskan kekacauan mendadak itu. Siaran terpaksa dihentikan. Karena kedua orang penyiarnya langsung pulang.

Dan kini, malam ini, sudah beberapa hari berpuasa di Ramadhan 1437 H, mendadak saja rindu pada suasana seperti itu. Suasana sewaktu Ramadhan kecil dulu.

Beberapa hari ini tidak sekalipun mendengar suara anak-anak atau remaja yang membangunkan warga untuk santap sahur. “Keributan” yang dirindukan pada Ramadhan. Entah kemana dan apa yang dilakukan oleh anak-anak jaman sekarang.

Namun memang, waktu terus berjalan,
hingga beberapa hal hanya akan menjadi kenangan…

Salam. Bahagialah selalu...

Mhd Wahyu NZ © mwahyunz.id

Tinggalkan Komentar

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gulir ke Atas