Psywar atau Psychological Warfare yang bisa diterjemahkan sebagai peperangan psikologis, mau pun secara bebas sebagai perang urat saraf sudah menjadi hal yang jamak dilakukan oleh banyak pihak dalam banyak hal. Termasuk dalam dunia politik. Lantas bagaimana dengan psywar dalam Pilkada Kota Banjarbaru Tahun 2024 yang tahapannya tengah berjalan ini?
Terdapat sebuah fenomena menarik dalam Pilkada Banjarbaru kali ini, dan sejauh bisa mengingat, belum pernah dilakukan oleh bakal calon wali kota sebelumnya. Sejak Kota Banjarbaru ini berdiri, dan pada seluruh penyelenggaraan Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banjarbaru. Sebagai pengingat saja, bahwa wali kota pertama Banjarbaru itu dipilih oleh DPRD, bukan melalui Pilkada langsung.
Hal yang belum pernah dilakukan atau terjadi itu adalah ‘pengerahan massa’ secara masif melalui berbagai kemasan acara/kegiatan. Tidak hanya untuk Pilkada, untuk Pileg metode tersebut sudah mulai ditinggalkan oleh partai politik. Kecuali untuk Pilpres yang masih dipergunakan.
Kenapa metode seperti itu ditinggalkan? Karena sebab yang sederhana namun jelas, yakni memerlukan faktor pendukung yang tidak sedikit dan yang paling penting adalah metode tersebut tidak efektif. Pada akhirnya hanya akan membuang sumber daya untuk hal yang tidak signifikan.
Namun Pilkada Banjarbaru kali ini tampak berbeda. Saya mencium adanya aroma psywar melalui ‘pertunjukan massa’ yang dilakukan oleh salah satu bakal calon wali kota, Erna Lisa Halaby. Sudah diketahui melalui media, kubu Lisa baru saja menggelar konser musik, dan akan menggelar agenda lain yang juga -diharapkan- akan mendapatkan atensi masa dalam jumlah besar.
Hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi dalam sejarah Pilkada langsung di Kota Banjarbaru. Bahkan, tidak pernah ada pasangan calon yang memanfaatkan alokasi kampanye dalam bentuk rapat umum. Tidak pernah sekalipun. Untuk 2024 ini, kita tunggu saja, apakah akan ada yang memanfaatkan hak tersebut atau tidak.
Ya, saya mengapresiasi apa yang dilakukan oleh kubu Lisa tersebut hanyalah sebatas psywar. Sebatas perang urat saraf untuk menyampaikan pesan kesiapan penuh dan dukungan logistik yang kuat yang dimiliki. Tidak lebih dari itu. Jika memang psywar, maka sasaran penerima pesan sebenarnya adalah pesaing, yakni kubu Aditya.
Namun, jika ternyata metode-metode seperti itu digunakan memang dimaksudkan dan diposisikan sebagai metode untuk meraih suara secara signifikan, sorry to say, itu adalah klasik dan sudah ketinggalan. Mungkin perlu berhati-hati dan lakukan evaluasi.
Sebagai gambaran lain, hingga saat ini saya tidak pernah mau mencari informasi terkait Pilkada Banjarbaru termasuk informasi para bakal calon wali kota melalui media sosial. Biarkan saja lini masa mengalir apa adanya. Ternyata, hal-hal terkait dengan politik dan kekuasaan yang muncul justru tentang Ibrahim Traore di Burkina Faso, dan Pilpres Amerika Serikat.
Selama ini, bakal calon wali kota yang muncul di feed salah satu media sosial yang saya gunakan hanya satu kali dan satu orang. Yakni Aditya yang sedang cukur rambut. Tapi lupa mencermati, apakah itu organik atau berbayar.
Pada akhirnya, metode yang digunakan memang menjadi pilihan masing-masing kubu. Silakan cermati dan analisis segmentasi pemilih yang ada di Banjarbaru, dan pilih metode yang sesuai. Hanya saja, secara pribadi saya tidak pernah memilih berdasarkan desain baliho, konten media sosial, jumlah massa yang hadir, atau beberapa hal lain yang tidak dapat saya pertanggungjawabkan secara rasional.
Sedikit atau banyak, kecil atau besar, ceruk pemilih rasional akan tetap ada. Mereka tidak memilih siapa yang akan menang, melainkan memilih siapa yang dinilai layak untuk dipilih. Jika pun hanya tersisa satu orang, maka saya akan berusaha memastikan bahwa itu adalah saya.
Selamat beraktivitas. Banjarbaru di pagi awal Agustus ini begitu cerah.
sungguh, pengamatan yg netral dan menarik utk dicermati..