Sebetulnya ini perkara sederhana. Tapi karena sudah kerap kali mengalami, maka terpikirkan juga akhirnya. Hal sederhana dimaksud adalah soal memilih warung berikut makanan yang disediakan. Setiap orang memiliki pertimbangan tertentu untuk memutuskan warung mana dan menu apa yang menjadi kesukaannya. Baik karena satu, atau beberapa faktor sekaligus.
Secara umum, dalam konteks makan, maka sudah barang tentu rasa adalah menjadi faktor utama. Rasanya minimal harus enak. Kalau bisa enak sekali. Jika tidak enak, buat apa ke warung itu. Ini bisa berbeda jika konteksnya pergaulan. Bisa jadi faktor rasa menjadi nomor ke sekian setelah hal-hal lain yang tidak substansial. Tapi catatan ini hanya fokus dalam konteks makan.
Faktor berikutnya, bisa jadi soal kebersihan. Tempat tidak harus mewah, yang penting bersih. Hanya saja, gelas minum yang masih tercium aroma sabun cuci, itu bukan tanda kebersihan. Justru tidak bersih mencucinya. Faktor berikutnya mungkin jadi soal porsi. Ada yang suka porsi banyak atau tidak. Pernah sekali waktu beli nasi goreng seporsi 25 ribu. Porsinya cukup untuk 5-6 orang.
Tapi ada faktor lain, yang akhir-akhir ini jadi terpikir. Yakni soal pemeran utama di warung. Mau tidak mau menjadi terpikir karena tidak sekali dua mengalami sendiri. Bahkan beberapa kawan ternyata juga mengalami hal yang sama. Soal ini menyangkut perbedaan laki-laki dan perempuan, dan transisi status pemeran utama warung.
Apa yang dialami beberapa kali itu adalah seperti ini:
Misalkan ada sebuah warung yang masakannya enak, dan selama ini menjadi salah satu warung pilihan. Ketika itu yang memegang peran utama di warung itu adalah seorang lelaki (dari beberapa kejadian setakat ini, status sang lelaki adalah sebagai seorang suami). Si lelakilah yang biasanya memasak dan menyajikan makanan bagi pelanggan. Warung itu ramai, banyak sekali pelanggan.
Pada perjalanannya, si perempuan (dari beberapa kejadian setakat ini, status sang perempuan adalah sebagai seorang istri) kemudian ikut campur dalam urusan dapur. Si perempuan yang kemudian memasak, menyajikan. Baik untuk makan di tempat maupun dibungkus. Aneh sekali, dua faktor utama menjadi terpengaruh. Rasanya menjadi tidak seenak sebelumnya dan/atau porsi berkurang.
Pada seluruh kejadian yang dialami, penurunan kualitas rasa dan/atau kuantitas porsi tersebut tidak diiringi oleh penurunan harga. Tidak berbanding lurus. Bahkan ada salah satunya yang berbanding terbalik. Harganya malah naik. Secara umum harganya tetap sama.
Sekali lagi, hal seperti ini juga dialami atau dirasakan oleh beberapa orang kawan. Baik kawan laki-laki maupun perempuan. Baik pada warung yang sama, maupun pada warung yang berbeda. Sekali waktu bertanya pada salah seorang kawan perempuan, apa yang kira-kira menjadi penyebabnya. Katanya, perempuan lebih perhitungan soal bumbu. Entah kepastiannya seperti apa.
Jika soal makanan, saya memang percaya “beda tangan beda rasa”. Tapi pengalaman-pengalaman yang kebetulan sama ini menambah satu faktor lagi dalam memilih warung. Jika awalnya tahu persis bahwa pemeran utamanya adalah lelaki, maka bersiaplah dengan perubahan jika kemudian diganti oleh perempuan. Terutama perubahan rasa dan porsi.
Tapi itu tidak berlaku jika warung itu dari awal dipegang perempuan. Sebab sampai saat ini belum pernah mengalami kejadian sebaliknya, perempuan digantikan oleh lelaki. Seluruh warung langganan yang dari awal diketahui dipegang perempuan, sampai saat ini masih tetap begitu. Mungkin ada yang pernah tahu dan/atau mengalami.
Salam,
Pengamatan yang amat sungguh.. setujulah, di minang sini kepala dapur RM umumnya laki-laki. Biasanya stabil soal rasa dari tahun ke tahun.
Di luar topik.. di jogja ada kecenderungan rumah makan dan usaha panganan menggunakan ikon legendaris. Simbah2 sepuh adalah jaminan rasa di sana. Tidak mengenal kata pensiun, biasanya tetap ikut mengolah atau menyajikan. Semakin tua semakin bernilai, sesuailah dengan kotanya. Kitanya yang gak tega liat simbah wedhok wis sepuh masih mbungkusi lupis.
Rumah makan masakan Minang langganan di Banjarbaru sini juga begitu, dan masih stabil. Walau sementara ini harus mengurangi konsumsi gulai otak idola 😥
___
Dulu pernah juga di RM langganan ada seperti itu. Hanya saja kejadiannya kami diskusi soal makanan, akhirnya beliau bikinkan masakan yang tidak ada di menu buat besok harinya, disuruh beliau datang. Ini sungguh membuat terbit niat untuk mencari tahu kabar beliau.
beda tangan beda rasa, itu saya setuju berkali-kali, tak cukup sekali
Selain itu, beda lidah juga beda rasa 😀