Loket Warung Mbah Dul SMPN 2 Banjarbaru

Pisang Goreng Petis Mbah Dul

Jika ada benda berwarna hitam berupa saus kental yang dibuat dari udang (ikan dan sebagainya) segar yang ditumbuk halus, direbus dengan air abu merang dan dibumbui, maka kemungkinan besar itu adalah petis. Kemudian, jika ada buah pisang yang diolah dengan cara digoreng, maka itu adalah pisang goreng. Kedua hal itulah, petis dan pisang goreng, yang menjadi fokus catatan pada kali ini.

Bukan tanpa sebab kenapa ingin bercerita tentang kedua hal tersebut. Karena baru tadi siang berkunjung kembali ke SMPN 2 Banjarbaru setelah sekian lama. Hubungannya? Karena duluuu… saat bersekolah di situlah mengenal kombinasi -yang ternyata- harmonis antara kedua hal tersebut. Petis dan pisang goreng. Ini memang cerita lama.

Ketika itu, selain kantin resmi milik sekolah, yang sempat juga turut menugaskan sebagian siswa untuk turut belajar menjaganya, juga terdapat sebuah kantin tidak resmi. Atau lebih tepatnya warung. Letaknya berada di luar lingkungan sekolah. Persis di samping pagar sisi kiri/timur sekolah, arah belakang. Pemiliknya Mbah Dul.

Entah nama sebenarnya atau sebut saja begitu. Anak-anak SMPN 2 Banjarbaru ketika itu ya memang menyebutnya Mbah Dul. Proses transaksi harus melewati dinding, dengan masing-masing pihak berada di tempat atau sisi masing-masing. Signature dish warung Mbah Dul adalah rawon. Selain itu juga tersedia beberapa pilihan lainnya.

Gorengan adalah salah satu jenis di antara sejumlah pilihan lain itu. Wabil-khusus, pisang goreng. Tapi pisang gorengnya disuguhkan dengan cara yang tidak biasa. Melainkan sudah terdapat petis di atasnya. Di situlah untuk pertama kalinya mengenal pisang goreng yang dinikmati menggunakan petis. Ternyata cocok dan suka hingga sekarang.

Sebelumnya tidak pernah mendengar, pun melihat pisang goreng plus petis, apalagi menikmati secara langsung. Biasanya sambal petis itu digunakan ketika menikmati gorengan berwujud tahu, tempe, singkong, atau lainnya. Pisang goreng? Benar-benar menjadi sebuah hal baru. Harga satuannya sudah lupa. Bayarnya tetap pakai uang asli.

Wallaahua’lam bagaimana sejarah sebenarnya, kapan dan siapa yang memulai, tapi bagiku Mbah Dul adalah tokoh sentral dalam pengenalan kepada pisang goreng bersambal petis. Selain itu, juga tidak pernah menjumpai perlakuan atau cara yang sama ketika di tempat lain ketika masa-masa itu. Bisa jadi Mbah Dul memang inisiatornya.

Kemudian, ketika tembok Berlin di Jerman dirubuhkan untuk menandai reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur, tembok yang memisahkan antara siswa SMPN 2 Banjarbaru dengan Mbah Dul justru semakin tinggi. Tapi pihak sekolah sepertinya tetap memfasilitasi aktivitas jual beli yang telah menjadi tradisi di situ.

Caranya, pada tembok dinding pagar sekolah itu diberikan sebuah loket kecil. Mungkin ukurannya sekitar 50cm x 50cm. Cukup untuk piring dan gelas melintas, apalagi sekadar sepotong pisang goreng. Di atas loket itu terdapat sebuah tulisan, TVRI, seperti nama stasiun TV milik negara itu. Entah siapa yang menulisnya.

Selepas SMP memang tidak pernah lagi menonton “TVRI yang menyiarkan jajanan Mbah Dul”. Namun urusan cara menikmati pisang goreng a la Mbah Dul, tetap digunakan hingga saat ini, bahkan hingga kelak nanti.

Salam.

Mhd Wahyu NZ

Ikuti » Kanal Telegram

Tinggalkan sebuah Komentar

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Gulir Ke Atas