Sebelumnya ia telah mendengar kabar, bahwa dua hari lalu, hujan telah turun. Meski tidak lama, namun cukup deras. Bagi sebagian orang, kabar seperti itu mungkin adalah hal yang biasa. Tapi tidak baginya. Itu adalah sebuah kesialan, karena tak sempat memandang hujan dengan penyebab yang sepele. Karena tertidur pulas akibat begadang pada malam sebelumnya.
Akhir-akhir ini, ia bisa dengan penuh percaya diri meyakini bahwa akan ada sangat banyak orang yang juga merindukan hujan di sini. Kota tempatnya tinggal dan menetap, Kota Banjarbaru. Tidak sekadar disebabkan oleh musim kemarau yang begitu panjang dan panas, pun karena asap yang tidak mengenakkan.
Namun baginya tidak sekadar itu. Ada alasan yang lebih mendalam dan menyentuh perasaan. Tapi itu baginya pribadi. Bagi orang lain bisa jadi mengakibatkan kebingungan. Alasan itu adalah karena ia sangat suka memandang hujan. Air yang tercurah dari langit itu.
Sebab itulah, ketika hujan turun, ia selalu menyempatkan diri untuk duduk di teras, memandang hujan yang turun. Entah kenapa, ketika melakukan itu, ia selalu saja merasa nyaman, tenang. Demikian katanya pada suatu ketika. Tentu disertai catatan, sepanjang hujan itu bukan berbentuk badai.
Setelah melewatkan hujan sebelumnya, lelaki itu memasang tekad. Bahwa kali ini, ketika hujan turun, ia harus bisa memandangnya. Bahkan jika dalam keadaan yang sangat mengantuk sekalipun. Jika bisa, ia akan menjatuhkan hukum yang agak menyerempet wajib bagi dirinya sendiri.
Sangat beruntung, ia tidak perlu menunggu terlalu lama. Kemarin siang menjelang sore di Banjarbaru, hujan pun turun. Di awali oleh gerimis. Sebab itu ia bergegas duduk di sebuah kursi kayu pada teras rumahnya. Perlahan hujan menjadi deras. Ia tetap duduk dengan tenang, karena ia ingin memandang hujan.
Ia juga memandangi dedaunan. Rimbunnya pohon mangga juga telah dibasahi air hujan. Demikian pula dedaunan yang jauh lebih kecil dari daun mangga juga telah basah. Pun demikian halnya dengan rerumputan, yang liar maupun jinak. Semua telah dibasahi oleh air hujan. Ia merasa tenang, nyaman.
“Jika saja bisa terdengar, betapa riuhnya puja puji yang disampaikan oleh dedaunan itu kepada Tuhan, ” demikian batinnya. Tapi tentu saja ia tak mampu mendengar itu. Namun untuk dirinya sendiri, ia mengucapkan segala pujian hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam. Ia ingin memandang hujan, dan itu dikabulkan.
Baginya sangat tidak perlu mempertanyakan apakah itu hujan alami atau buatan, hujan ori atau kw. Bahwa itu adalah hujan, sudah cukup. Bahwa yang tercurah dengan banyak itu adalah air, maka patut disyukuri. Bayangkan saja jika yang tercurah dari langit itu berbentuk oli mesin.
Akhirnya hujan pun reda. Masih menyisakan jejak berupa dedaunan yang basah dan perasaan yang nyaman. Ia pun tersenyum, telah punah keinginan memandang hujan disela panasnya kemarau ini. Sembari menahan kantuk yang kian terasa, ia berucap, “Alhamdulillah…”.
Salam,