Kejadiannya pada Jumat (19/09) lalu. Siang hari setelah salat Jumat dan juga makan siang, bagi yang rutin. Diawali dari sebuah undangan untuk dapat berhadir di aula Kelurahan Mentaos. Katanya akan ada pertemuan dan diskusi kecil. Karena sudah cukup lama tidak benar-benar diskusi, tentu ini menarik.
Singkat cerita, ternyata pertemuan tersebut adalah inisiasi dari KIM. Karena keterbatasan pengetahuan, semula aku kira itu kelanjutan dari Koalisi Indonesia Maju pada Pemilu lalu. Ternyata KIM yang ini adalah akronim dari Komunitas Informasi Masyarakat. Pihak Kelurahan Mentaos kemudian memberikan fasilitasi dan dukungan teknis.
Kegiatan direncanakan akan dimulai pukul 14.00 Wita. Saat itu matahari sedang seksi-seksinya. Karena rumah yang masih terhitung dekat dengan kantor kelurahan, makanya lebih memilih untuk naik motor saja. Ternyata sangat terik dan menyengat. Ini adalah panas pertama.
Ini adalah untuk pertama kalinya dalam seumur hidup mengikuti diskusi di kelurahan. Serius. Ternyata tema yang diangkat siang itu adalah sebuah fenomena sosial terkait penggunaan telepon genggam pada anak di bawah umur. Terhitung tema klasik, namun faktanya juga akan selalu up to date.
Klasik? Ya, sekitar 25 tahun lalu aku pernah memiliki sebuah program bernama Beranda Malam, siar di RRI Pro 3 Banjarmasin. Acaranya tiap Sabtu malam hingga Ahad subuh. Pernah mengangkat sebuah tema “Kecil-kecil bawa HP”. Belum musim smartphone seperti sekarang.
Ponsel, memang bisa bikin panas orang tua kalau anaknya selalu main itu. Seorang anak juga bisa panas kalau dilarang orang tuanya terlalu banyak main ponsel. Aku pun bisa gampang panas jika sedang bicara serius, lawan bicara malah lebih khusyuk memainkan gawainya. Ini, adalah panas kedua.
Jadi pula teringat, 13 tahun lalu pernah membuat catatan pendek tentang smartphone dan empati dengan kesimpulan tidak semua pengguna smartphone adalah smart user. Membuktikan bahwa ini adalah soal lama, klasik, namun tetap relevan hingga saat ini. Mungkin hingga kelak nanti.
Sialnya dalam diskusi itu, Pak Husein Abdurrahman malah dengan semena-mena memintaku untuk bicara pertama, setelah fasilitator diskusi, Pak Karim yang menyampaikan bahan awal, yang aku biasa sebut itu sebagai pemantik. Mas Lurah selaku moderator setuju. Aku duga, ada persekongkolan antar mereka berdua. Biarlah. Aku pasrah.
Sehingga kemudian, berseliweranlah sekian banyak hal dalam kepala ini. Karena selama ini aku berpendapat bahwa perkara ini sebenarnya bukan perkara kecil. Diperlukan kekuatan dan kewenangan yang besar untuk mengatasinya secara lebih komprehensif.
Salah satu problem mendasarnya adalah kemajuan dan perkembangan teknologi dan informasi berikut penetrasinya tidak diimbangi oleh tingkat kedewasaan dan kecerdasan pengguna. Demikian pula halnya dengan regulasi yang selalu tertinggal oleh inovasi pemanfaatan teknologi informasi. Belum lagi bicara bisnis.
Karena terlalu banyak apa yang ada di kepala, dan lagi pula ini baru diskusi awal, maka kita bicara hal yang ringan-ringan saja dulu. Tipis-tipis, yang bisa jadi lebih tipis dari kulit ari. Padahal, untuk tema tersebut sangat perlu untuk memahami apa itu digital native sementara yang sedang berdiskusi adalah para digital immigrant.
Jika ingin masuk ke hal yang lebih praksis, misalnya terkait dengan maraknya media sosial dan terminologi pembuat konten atau content creator sudah tidak lagi menjadi barang yang aneh, rasa-rasanya juga perlu untuk memahami survivorship bias sebagai salah satu bentuk logical fallacy.
Jika kemudian fenomena itu difokuskan untuk anak di bawah umur, bisa jadi pula akan mendapatkan sedikit kemudahan. Meski pun pada praktiknya akan menjadi sulit sulit mudah. Silakan jika mau dibalik menjadi mudah mudah sulit. Aktor utamanya tetap saja orang tua atau wali. Merekalah yang pegang kendali.
Teknologi, apa pun itu, adalah alat bantu. Maka hakikatnya ponsel sama dengan pisau. Orang tua, barang tentu sudah memahami ketika pisau digunakan untuk mengiris bawang adalah pemanfaatan yang tepat. Membiarkan anak di bawah umur bermain pisau sebebasnya adalah kebodohan maksimal.
Jika kemudian diskusi kecil tersebut mengerucut pada dua simpulan, yakni diperlukan pendekatan regulasi dan pendekatan sosial, rasanya itu sah-sah saja. Tidak ada yang salah. Menarik juga ketika tercetus ide rencana aksi dalam bentuk edukasi publik di lingkup Kelurahan Mentaos.
Untuk urusan mempersiapkan konsep rencana aksi tersebut, kupikir adalah hal menarik. Hanya saja itu baru bisa dimulai para Rabu lusa, sebab ada kewajiban lain yang harus dipikirkan dan diselesaikan, sesuai antrean to do list.
Jika kemudian masih ada yang mempertanyakan mengapa bisa kukatakan itu adalah sebuah diskusi panas, maka untuk diketahui, aku siang itu terpaksa membuka dua buah jendela. Lalu pindah duduk ke tempat yang lebih dekat dengan jendela.


Tinggalkan sebuah Komentar