Idul Adha 1446 H sudah lebih dari dua pekan berlalu. Jamaah haji juga sudah mulai pulang. Tapi tetap ada yang masih tersisa di rumah. Itu adalah stok daging kurban yang tersimpan dalam freezer lemari es. Mama sendiri baru sekali memasak sebagian dagingnya, yang kemudian beliau bawa sebagai bekal tamasya bersama teman-teman. Katanya sedang reuni kecil-kecilan dengan teman-teman sekolah SPRG beliau dulu.
Akhirnya sebagian dari daging tersebut kami bawa ke penggilingan bakso Bundaran Palam yang terletak di Jl. Trikora Banjarbaru. Seperti namanya, yang memang dekat dengan bundaran Palam. Jasa penggilingan bakso itu milik orang tua seorang kawan yang sudah beberapa tahun ini tidak bertemu.
Pagi diantar, kemudian siang diambil. Apa yang tadinya masih berbentuk potongan-potongan daging sudah berubah bentuk menjadi bakso yang bulat bulat. Tentu saja tidak hanya daging, melainkan ada campuran lain. Hanya saja untuk soal itu menjadi urusan istri. Aku sudah memiliki uraian tugas lainnya.
Sepulangnya dari mengambil bakso di penggilingan, mampir dulu membeli arang karena stok arang di rumah sudah habis. Mampir di sebuah warung, beli dua bungkus. Kata istri harganya lebih murah dari pada di pasar. Aku tidak tahu itu dan berpikir tidak perlu mengkonfirmasi. Cukup percaya saja, dan ikut merasa senang.
Sesuai rencana awal, mau coba membuat bakso bakar di rumah. Atau bisa juga disebut Sate Bakso. Baru mau mulai, muncul masalah. Ternyata tusuk sate juga sudah habis. Ternyata salah mengingat. Sebab yang baru saja dibeli dan masih banyak adalah tusuk gigi. Bukan tusuk sate. Akhirnya pergi sebentar untuk membeli.
Sesampainya di toko tujuan yang tidak jauh, tak sampai lima menit dari rumah. Ternyata muncul persoalan baru. Hanya persoalan kecil. Mereka menjual beberapa jenis tusukan. Bentuknya sama, hanya panjangnya berbeda. Kuambil yang pendek, sang penjaga berkata, “Itu untuk tusuk cilok, Pak. Sate yang panjang.”
Aku hanya menjawab pendek, “Oh, tapi ‘kan juga bisa dipakai buat menusuk sate toh?”
Setelah dipertimbangkan secara rasional bahwa yang panjang bisa dipakai untuk sesuatu yang lebih pendek, tapi yang pendek tidak bisa dibikin panjang, maka ya diambil yang lebih panjang saja. Banyak sekali isinya, mungkin ratusan tusuk. Tapi malas menghitung. Anda cukup percaya saja, dan ikut merasa senang bersamaku.
Sekembalinya ke rumah, prosesi bakar bakso atau sate bakso segera dimulai. Kali ini menyiapkan tungku dari tanah liat dan menyiapkan arang untuk kemudian dibuat bara. Rasanya aku cukup mahir untuk membuat bara dari arang dengan bermodal tisu dan minyak goreng bekas. Anda cukup percaya saja atas keahlian ini.
Ternyata permasalahan belum selesai. Tidak lama setelah memulai membakar bakso, permasalahan baru muncul, kali ini sangat deras. Karena masalah itu berupa hujan. Karena disertai angin, tempias air hujan juga masuk ke teras belakang rumah. Beberapa kali menggeser posisi tungku, tetap terkena. Terpaksa kemudian menggunakan solusi praktis, menggunakan payung. Memang sedikit ribet, tapi terlindungi.
Bakar bakso pun selesai. Sate Bakso pun jadi. Bumbunya? Tidak tahu, itu urusan istri. Urusanku hanyalah membakar dengan dibantu sebuah kipas angin kecil agar tidak lelah mengipas-ngipas. Setelah dinikmati, kata istri rasanya enak, sambil mengacungkan jempol. Kali ini aku juga percaya, setelah mengkonfirmasi langsung.
Jika Anda tidak percaya, maka itu adalah urusan Anda. Sebab sulit untuk mengkonfirmasi. Sudah habis sore itu juga. Hanya tersisa pentol-pentol bakso yang masih belum diolah. Entah akan dibikin apalagi. Mungkin nanti sesuatu, yang bisa dinikmati bersama.


Tinggalkan sebuah Komentar